Romo Mudji Sutrisno Berpulang: Indonesia Kehilangan Filsuf, Imam, dan Intelektual Publik Penjaga Nurani Bangsa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Indonesia kembali kehilangan salah satu sosok intelektual dan rohaniwan terkemuka. Romo Prof. Dr. Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, SJ, imam Serikat Yesus, filsuf, budayawan, penyair, dan pendidik lintas disiplin, berpulang ke rumah Bapa pada Minggu malam, 28 Desember 2025, pukul 20.43 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Ia wafat dalam usia 71 tahun, meninggalkan jejak panjang pengabdian pada Gereja, dunia akademik, kebudayaan, dan kehidupan kebangsaan Indonesia.
Kabar wafatnya Romo Mudji dengan cepat menyebar dan mengundang duka mendalam dari berbagai kalangan: umat Katolik, para imam dan biarawan, akademisi, seniman, mahasiswa, hingga aktivis sosial dan demokrasi. Kepergiannya menandai berakhirnya perjalanan seorang intelektual publik yang selama puluhan tahun setia merawat dialog antara iman, filsafat, seni, dan realitas sosial Indonesia.
Rohaniwan dengan Latar Akademik Mendalam
Romo Mudji Sutrisno dikenal sebagai rohaniwan yang memiliki fondasi akademik kuat, khususnya di bidang filsafat. Ia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Italia, meraih gelar Doktor Filsafat (Ph.D.) dari universitas kepausan ternama di Roma. Pendidikan tersebut membentuk watak intelektualnya yang reflektif, kritis, namun tetap membumi.
Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mudji mengabdikan dirinya sebagai pendidik dan dosen filsafat, terutama di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, sebuah institusi yang dikenal melahirkan pemikir-pemikir kritis Indonesia. Selain itu, ia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi lain, termasuk di lingkungan Universitas Indonesia dan Institut Seni Indonesia.
Sebagai pengajar, Romo Mudji tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk cara berpikir. Ia mendorong mahasiswa untuk berani bertanya, meragukan kemapanan, serta membaca realitas sosial dengan kejernihan nurani. Bagi banyak muridnya, Romo Mudji adalah guru yang membebaskan pikiran, bukan sekadar dosen di ruang kelas.
Baca Juga :
Kisah Haru di Balik Wisuda: Pengorbanan yang Tak Terlihat dari Mama Martina dan Bapa Damianus
Filsuf yang Menyapa Kehidupan Nyata
Berbeda dengan sebagian filsuf yang berkutat di menara gading teori, Romo Mudji menjadikan filsafat sebagai alat pembacaan zaman. Ia aktif menulis esai, artikel, dan buku yang membahas persoalan manusia konkret: keadilan, demokrasi, kekuasaan, kemiskinan, kekerasan simbolik, hingga krisis etika publik.
Filsafat, bagi Romo Mudji, tidak boleh terputus dari realitas hidup manusia. Ia kerap menegaskan bahwa filsafat sejati justru lahir dari pergulatan dengan penderitaan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Karena itu, tulisan-tulisannya mudah diakses oleh publik luas, tanpa kehilangan kedalaman refleksi.
Dalam banyak kesempatan, Romo Mudji mengingatkan bahwa bangsa tanpa refleksi etis akan mudah terjebak pada pragmatisme dan kekerasan struktural. Suaranya menjadi penyeimbang di tengah hiruk-pikuk politik dan polarisasi sosial.
Imam Jesuit dan Pelayan Gereja
Sebagai imam Serikat Yesus (SJ), Romo Mudji menjalani spiritualitas Ignasian dengan kesetiaan dan kreativitas. Ia memadukan hidup doa dengan keterlibatan sosial dan intelektual. Bagi Romo Mudji, iman Kristen tidak berhenti pada ritual, melainkan harus menjelma dalam sikap kritis terhadap ketidakadilan dan pembelaan terhadap martabat manusia.
Ia sering tampil sebagai pengkhotbah dan pembicara dalam berbagai forum Gereja, seminar, dan diskusi lintas iman. Pendekatan pastoralnya dikenal inklusif, terbuka, dan dialogis. Ia tidak ragu berdialog dengan mereka yang berbeda pandangan, keyakinan, maupun latar belakang ideologis.
Di mata banyak umat, Romo Mudji adalah imam yang tidak menggurui, melainkan mengajak berpikir dan merenung bersama.
Budayawan, Penyair, dan Seniman
Selain filsuf dan imam, Romo Mudji juga dikenal sebagai budayawan dan seniman. Ia menulis puisi, melukis, dan aktif dalam dunia seni rupa serta sastra. Karya-karyanya kerap memadukan dimensi spiritual, kemanusiaan, dan kegelisahan zaman.
Bagi Romo Mudji, seni adalah bahasa kejujuran batin. Ia percaya bahwa seni mampu menyingkap kebenaran yang tak selalu bisa diucapkan melalui konsep filosofis. Melalui puisi dan lukisan, ia menyampaikan refleksi iman dan kritik sosial dengan cara yang halus namun menggugah.
Kepekaannya terhadap seni membuatnya dihormati di kalangan seniman dan pegiat budaya. Ia menjadi jembatan antara dunia intelektual, religius, dan artistik—sebuah peran yang jarang dimiliki satu sosok secara bersamaan.
Intelektual Publik dan Penjaga Demokrasi
Nama Romo Mudji juga tercatat dalam sejarah demokrasi Indonesia. Ia pernah dipercaya menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia pada awal era reformasi. Peran tersebut menunjukkan kepercayaan publik terhadap integritas moral dan intelektualnya.
Dalam berbagai tulisan dan pernyataan publik, Romo Mudji konsisten mengingatkan pentingnya etika dalam politik. Demokrasi, menurutnya, bukan sekadar prosedur pemilu, melainkan perwujudan penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan sosial.
Ia kerap mengkritik kekuasaan yang abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan, namun selalu dengan bahasa reflektif dan argumentatif, bukan caci maki. Inilah yang membuat suaranya dihormati, bahkan oleh mereka yang berbeda pandangan.
Duka dan Penghormatan Terakhir
Kepergian Romo Mudji meninggalkan duka mendalam. Ucapan belasungkawa mengalir dari berbagai penjuru, menandai luasnya pengaruh beliau. Banyak yang mengenangnya sebagai sosok rendah hati, bersahaja, namun memiliki ketajaman intelektual yang luar biasa.
Prosesi penghormatan terakhir dijadwalkan berlangsung di Jakarta sebelum jenazah diberangkatkan ke Girisonta, Jawa Tengah, untuk dimakamkan sesuai tradisi Serikat Yesus. Misa Requiem dihadiri oleh para imam, biarawan-biarawati, akademisi, seniman, dan umat yang ingin memberikan penghormatan terakhir.
Warisan Pemikiran dan Keteladanan
Romo Mudji Sutrisno telah berpulang, namun warisan pemikirannya akan terus hidup. Buku-bukunya, esai-esainya, puisi-puisinya, serta kenangan para murid dan sahabat menjadi jejak yang tak mudah terhapus.
Di tengah zaman yang sering bising oleh ujaran kebencian dan dangkal oleh sensasi, Romo Mudji menghadirkan keteduhan berpikir. Ia mengajarkan bahwa iman dan akal budi tidak perlu dipertentangkan, bahwa seni dan filsafat bisa berjalan seiring, dan bahwa cinta pada bangsa harus diwujudkan melalui keberanian moral.
Kepergian Romo Mudji adalah kehilangan besar bagi Indonesia. Namun, seperti benih yang jatuh ke tanah, hidup dan karyanya akan terus bertumbuh dalam kesadaran banyak orang yang pernah disentuh oleh pemikiran dan keteladanannya.
Selamat jalan, Romo Mudji. Terima kasih atas cahaya yang telah Engkau nyalakan bagi Gereja, bangsa, dan kemanusiaan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
