Telepon yang Sunyi – Retaknya Kepercayaan Cinta Thebaldus & Anjany
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 13:
Jarak, Waktu, dan Telepon yang Sunyi
Sebelum melanjutkan membaca Kisah sebelumnya silahkan Kunjungi Laman Ini
Surabaya adalah dunia yang berbeda. Kota itu padat, panas, bising, dan tak pernah tidur. Bagi Thebaldus yang terbiasa dengan kabut dan dinginnya Ruteng, Surabaya adalah ujian.
Hari-hari kerjanya panjang. Pagi hingga malam, ia sibuk dengan rutinitas kantor. Dan di sela-sela waktu, ada satu hal yang selalu ia cari: suara Anjany.
Awalnya, telepon menjadi penghubung. Setiap malam, mereka berbicara lama. Thebaldus menceritakan pekerjaannya, Anjany bercerita tentang kuliahnya. Tawa mereka masih sama, meski terpisah ratusan kilometer.
“Aku capek banget hari ini,” kata Thebaldus suatu malam.
“Sama. Tugas akhir bikin pusing,” jawab Anjany.
“Kalau kamu di sini, aku mungkin nggak bakal ngerasa capek.”
“Kalau kamu di sini, aku mungkin nggak bakal stres.”
Mereka tertawa. Tapi tawa itu pelan-pelan berkurang seiring waktu.
Beberapa minggu kemudian, telepon mulai jarang. Kadang Thebaldus terlalu lelah untuk menelepon. Kadang Anjany terlalu sibuk dengan skripsi. Pesan-pesan mulai dijawab singkat. Waktu yang dulu mereka habiskan berjam-jam untuk ngobrol kini berganti dengan keheningan.
“Kamu sibuk banget ya sekarang,” tulis Anjany dalam sebuah pesan.
“Kerjaan numpuk, Jan. Maaf ya.”
“Kamu masih sayang aku?”
“Kenapa nanya gitu? Jelas masih.”
Tapi jawaban itu tidak menenangkan. Anjany merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani hanya dengan kata-kata.
Suatu malam, telepon mereka sunyi lama.
“Kenapa kamu diam aja?” tanya Anjany.
“Aku capek, Jan. Aku cuma pengen denger suara kamu.”
“Kalau kamu capek, kenapa nggak istirahat aja?”
“Karena aku takut kalau aku tidur, kamu ngerasa aku lupa kamu.”
Kata-kata itu manis, tapi semakin lama, janji manis terasa hambar. Rindu yang tak bisa dituntaskan dengan pelukan mulai berubah jadi luka.
Ruteng dan Surabaya terasa seperti dua dunia yang mustahil bersatu.
Bab 14:
Kepercayaan yang Retak
Rasa rindu yang tak tertuntaskan itu perlahan berubah. Dari cemburu kecil, menjadi curiga besar. Dari keheningan, menjadi pertengkaran.
“Kamu sibuk, atau kamu udah punya orang lain?” tanya Anjany suatu malam.
Thebaldus terdiam lama, lalu menjawab pelan. “Jan, kenapa kamu ngomong gitu?”
“Karena aku ngerasa kamu jauh. Kamu beda.”
“Aku jauh karena kerja, bukan karena aku berubah.”
“Tapi rasanya kamu udah bukan Thebaldus yang dulu.”
Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Kata-kata yang dulu puitis berubah jadi pedas. Ego yang dulu mereka redam kini keluar.
“Kamu nggak percaya aku, Jan. Kalau kayak gini terus, hubungan kita rusak.”
“Kalau kamu bener-bener cinta aku, kamu nggak bikin aku ragu.”
“Jadi aku salah lagi?”
“Aku juga salah lagi?”
Hening.
Di ujung telepon, hanya suara napas keduanya yang terdengar. Tapi hening itu lebih menyakitkan daripada ribuan kata.
Hari demi hari, retakan itu makin besar. Pesan-pesan mulai jarang dibalas. Telepon semakin singkat. Setiap kata jadi pemicu pertengkaran.
Thebaldus merasa Anjany terlalu menuntut. Anjany merasa Thebaldus terlalu berubah.
Dan cinta yang dulu mereka anggap abadi mulai goyah.
Ruteng tetap dingin, Surabaya tetap panas. Tapi hati mereka, yang dulu menyatu, kini mulai terpisah.
Kepercayaan, yang dulu jadi pondasi cinta mereka, perlahan runtuh. Dan ketika pondasi itu hancur, bangunan cinta mereka mulai goyah, menunggu waktu untuk benar-benar roboh.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
