Pertengkaran Malam – Usaha Bertahan Cinta Thebaldus & Anjany yang Gagal
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 15
Pertengkaran di Ujung Malam
Telepon berdering di tengah malam. Ruteng sudah lama tertidur dalam kabut dingin, tapi Surabaya masih menyala dengan hiruk pikuknya. Anjany menunggu panggilan Thebaldus, tapi yang datang justru kata-kata yang menyakitkan.
“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Susah banget dihubungi,” suara Anjany terdengar bergetar.
“Aku kerja, Jan. Capek. Kenapa kamu selalu mikir yang jelek-jelek?”
“Karena aku ngerasa kamu beda. Kamu nggak kayak dulu.”
“Kamu salah. Aku tetap sama. Cuma waktuku habis buat kerja.”
Hening. Tapi hening itu bukan damai. Itu hening yang menusuk, hening yang penuh tuduhan tak terucap.
“Kalau kamu cinta aku,” lanjut Anjany, “kenapa kamu nggak bisa luangin waktu?”
“Kalau kamu percaya aku,” jawab Thebaldus, “kenapa kamu selalu curiga?”
Suasana meledak. Kata-kata yang dulu jadi puisi berubah jadi peluru.
“Mungkin kamu udah nemuin orang lain di Surabaya.”
“Dan mungkin kamu juga udah nggak percaya aku sama sekali.”
Telepon terputus. Malam kembali sunyi. Tapi di dalam hati mereka, badai baru saja dimulai.
Bab 16
Mencoba Bertahan, Tapi Gagal
Beberapa hari kemudian, keduanya mencoba memperbaiki keadaan. Thebaldus menelpon lebih sering. Anjany berusaha lebih sabar. Mereka bicara lagi tentang mimpi-mimpi lama.
“Kamu inget nggak, Jan, waktu kita janji di Danau Rana Mese?”
“Inget. Kamu bilang bakal balik, kita bakal terbang bareng sampai ujung senja.”
“Itu nggak berubah, Jan. Aku masih pegang janji itu.”
“Tapi kenapa aku nggak ngerasa sama lagi, Baldus? Kayak ada jarak yang nggak bisa ditutupin.”
Thebaldus terdiam. Ia tahu, kata-kata Anjany benar. Meski ia mencoba, ada sesuatu yang hilang.
Mereka bertemu lagi lewat video call. Senyum terlihat, tapi terasa kaku. Candaan dilontarkan, tapi hambar.
“Kita masih bisa bertahan kan, Baldus?” tanya Anjany, matanya basah.
“Aku pengen. Tapi kalau terus begini, aku takut kita saling hancur.”
“Jangan bilang gitu. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Aku juga nggak mau. Tapi aku nggak bisa bohong. Kita udah nggak kayak dulu.”
Air mata jatuh di kedua sisi layar. Mereka menangis, tapi tangis itu tidak memperbaiki apa pun.
Hari demi hari, usaha mereka terasa sia-sia. Janji-janji yang dulu indah kini terdengar seperti beban. Kata-kata “aku cinta kamu” yang dulu hangat kini terasa kosong.
Cinta mereka pernah bersemi di Ruteng, tumbuh di pondok bambu, diteguhkan oleh senja. Tapi di tengah jarak, cinta itu perlahan kehilangan bentuknya.
Mereka berusaha bertahan, tapi kenyataan berkata lain: cinta tak bisa hidup hanya dari kenangan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
