Kalimat Terakhir – Diam yang Jadi Perpisahan Cinta Thebaldus & Anjany
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 17
Kalimat Terakhir Thebaldus
Malam itu, hujan turun deras di Ruteng. Di Surabaya, Thebaldus duduk sendiri di kamar kosnya yang sempit. Telepon di tangannya bergetar, tapi ia ragu untuk mengangkat. Ia tahu, percakapan malam ini mungkin akan menjadi akhir.
“Baldus,” suara Anjany terdengar dari seberang, berat, “kenapa kita jadi begini?”
“Aku nggak tahu, Jan. Dulu kita bisa tertawa berjam-jam. Sekarang… tiap kali kita bicara, selalu ada luka.”
“Kamu masih cinta aku?”
Thebaldus menutup matanya, menarik napas panjang. “Aku selalu cinta kamu. Tapi aku nggak mau cinta ini bikin kamu sakit.”
Hening panjang.
“Jadi kamu mau nyerah?” suara Anjany mulai pecah.
“Bukan nyerah. Aku cuma nggak mau ego kita bikin semua janji yang kita buat jadi racun. Biarkan aku yang menahan rasa ini… asalkan kamu bahagia.”
Air mata menetes di pipi Thebaldus. Kalimat itu keluar begitu saja, tapi sekaligus menjadi kalimat terakhir yang mampu ia ucapkan. Kalimat yang penuh luka, tapi juga penuh cinta.
Bab 18:
Diam yang Menjadi Perpisahan
Setelah malam itu, tidak ada lagi kata-kata panjang. Tidak ada lagi tawa di ujung telepon, tidak ada lagi puisi sederhana yang mereka ucapkan. Yang tersisa hanya diam.
Pesan-pesan tidak lagi dibalas. Telepon dibiarkan berdering tanpa jawaban. Bukan karena benci, tapi karena keduanya tidak tahu lagi harus berkata apa.
Diam itu lebih menyakitkan daripada seribu pertengkaran. Diam itu menutup semua kemungkinan untuk kembali.
“Aku nunggu kamu,” tulis Anjany sekali waktu.
Pesan itu dibaca Thebaldus, tapi ia tak membalas. Ia hanya menatap layar lama sekali, lalu meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar.
“Aku masih cinta kamu,” tulis Thebaldus pada malam lain.
Anjany membaca, menahan tangis, lalu mematikan ponselnya.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan tanpa mereka sadari, diam itu sudah menjelma menjadi perpisahan.
Tidak ada kata resmi. Tidak ada pertemuan terakhir. Tidak ada ucapan “selamat tinggal.” Yang ada hanya dua hati yang perlahan menjauh, saling diam, hingga akhirnya benar-benar tak lagi bersama.
Ruteng tetap diselimuti kabut. Surabaya tetap panas dan riuh. Tapi cinta yang dulu hangat kini telah membeku dalam diam.
Dan dalam hati masing-masing, mereka tahu: perpisahan itu bukan karena tak cinta lagi, melainkan karena cinta tak lagi bisa bertahan melawan ego.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
