SEKOLAH DAN MASYARAKAT: RELEVANSI BESAR PEMIKIRAN JOHN DEWEY DALAM MENGGUGAT TRADISI PENDIDIKAN MODERN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pendidikan sering dipuji sebagai pilar utama kemajuan bangsa, tetapi jarang ada yang mengajukan pertanyaan paling dasar: apakah sekolah hari ini benar-benar menjalankan fungsi sosialnya dengan baik? Sering kali, sekolah dijadikan institusi formal yang sibuk mengejar angka, ranking, dan birokrasi; padahal masyarakat terus berubah, teknologi berkembang cepat, dan pola hidup manusia bergeser dari generasi ke generasi.
Di tengah kompleksitas itu, gagasan John Dewey, filsuf pendidikan asal Amerika, kembali menjadi referensi penting. Buku klasiknya “School and Society”—yang kini diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sekolah dan Masyarakat”—menjadi salah satu karya yang mengubah arah pemikiran pendidikan modern. Meski telah ditulis lebih dari satu abad lalu, idenya tetap terasa segar dan relevan, bahkan seperti kritik yang ditujukan langsung kepada sekolah-sekolah masa kini.
Dewey mengemukakan pandangan radikal untuk zamannya: sekolah bukan institusi terpisah dari masyarakat. Sekolah adalah masyarakat itu sendiri dalam bentuk mini. Dalam sekolah, seharusnya anak belajar bukan hanya rumus, definisi, atau hafalan sejarah, melainkan belajar hidup bersama, belajar bekerja sama, belajar mengatasi konflik, dan belajar memahami realitas sosial yang sesungguhnya.
1. Latar Sosial dan Historis: Mengapa Pemikiran Dewey Lahir?
Untuk memahami gagasan Dewey, kita harus melihat konteks sejarahnya. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Amerika Serikat sedang berada di tengah revolusi industri besar-besaran. Mesin pabrik mulai menggantikan tenaga manusia. Struktur kota berubah. Mobilitas sosial meningkat. Anak-anak dari keluarga buruh harus belajar hidup di lingkungan yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya.
Namun sistem pendidikan waktu itu masih berpegang pada tradisi lama: kelas kaku, hafalan fakta, guru dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, dan semua murid harus patuh pada aturan yang membatasi kebebasan berpikir. Sekolah dipandang sebagai tempat untuk mengendalikan anak, bukan mengembangkan potensi mereka.
Bagi Dewey, struktur ini menciptakan masalah besar: sekolah hanya mempersiapkan anak untuk masa lalu, bukan masa depan.
Ia melihat bahwa masyarakat berubah dengan sangat cepat, sementara sekolah berjalan dengan kecepatan lambat. Akhirnya, terjadi kesenjangan antara apa yang diajarkan sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Anak-anak mengalami kebingungan identitas, tidak mampu menghadapi dunia nyata, dan gagal mengembangkan kemampuan sosial yang penting bagi kehidupan.
Dari sinilah Dewey merumuskan prinsip dasar pemikirannya: pendidikan harus bergerak seiring masyarakat.
2. Kritik John Dewey terhadap Sekolah Tradisional: Sistem yang Tak Lagi Efektif
Dewey memandang sekolah tradisional sebagai institusi yang hanya mengulang tradisi lama tanpa berpikir kritis. Ia menyebut sekolah konservatif dengan beberapa ciri utama:
a. Dibangun berdasarkan otoritas, bukan pengalaman
Anak tidak diberi kesempatan mengeksplorasi dunia secara langsung. Mereka hanya menerima instruksi tanpa diizinkan bertanya atau mencoba.
b. Memisahkan murid dari realitas kehidupan
Sekolah menjadi ruang steril yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Anak diminta mempelajari teori yang tidak pernah mereka lihat aplikasinya.
c. Mengutamakan hafalan dan ujian
Penilaian dilakukan berdasarkan tes standar, bukan dari proses pemahaman mendalam. Murid cenderung belajar untuk lulus ujian, bukan untuk memahami atau memecahkan masalah.
d. Guru sebagai pusat pengetahuan
Guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi, sementara murid diperlakukan seperti “ember kosong” yang harus diisi. Dalam sistem ini, dinamika kelas menjadi satu arah.
e. Mengabaikan keberagaman murid
Sekolah tradisional tidak melihat anak sebagai individu dengan bakat, minat, dan latar belakang sosial yang berbeda. Semua dipaksa mengikuti pola seragam.
Dewey menilai sistem ini bukan hanya gagal, tetapi berbahaya. Ia menegaskan bahwa sekolah yang meniru pola otoriter hanya akan menghasilkan anak-anak yang takut berpendapat, tidak percaya diri, dan pasif dalam kehidupan sosial.
Padahal masyarakat demokratis membutuhkan warga yang kritis dan mampu bekerja sama.
3. Pendidikan sebagai Hidup: Prinsip Filosofis Dewey
Dewey mengajukan sebuah pernyataan terkenal: education is not preparation for life; education is life itself. Kalimat ini menjadi fondasi utama pemikirannya.
a. Pendidikan berbasis pengalaman (experiential learning)
Menurut Dewey, pengalaman adalah sumber belajar paling penting. Anak harus diberi kesempatan mencoba, bereksperimen, mengamati, merasakan, dan mendiskusikan. Mereka belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungan.
b. Belajar itu proses aktif, bukan pasif
Anak bukan objek pendidikan, tetapi subjek. Mereka harus terlibat dalam proses kreatif: membuat sesuatu, memecahkan masalah, atau menyusun proyek.
c. Demokrasi dalam kelas
Kelas harus menjadi ruang interaksi yang sehat: murid berbicara, berdiskusi, saling tanya, dan memecahkan konflik. Semua anggota kelas punya suara. Kelas bukan sistem komando, melainkan komunitas belajar.
d. Pendidikan harus relevan dengan kehidupan sosial
Materi pelajaran tidak boleh berdiri sendiri. Matematika, sains, sejarah, dan seni harus dikaitkan dengan dunia nyata agar anak memahami fungsi dan maknanya.
e. Sekolah sebagai laboratorium masyarakat
Sekolah bukan tempat membentuk manusia ideal imajinasi birokrasi, tetapi tempat anak belajar hidup dalam masyarakat nyata yang penuh keragaman, tantangan, dan dinamika.
4. Eksperimen Chicago: Bukti Nyata bahwa Pendidikan Bisa Diubah
Untuk membuktikan konsepnya, Dewey mendirikan Laboratory School di University of Chicago pada 1896. Sekolah ini menjadi contoh praktik langsung dari teori pendidikan progresif yang ia gagas.
Beberapa ciri utama sekolah eksperimen tersebut:
a. Kurikulum berbasis aktivitas
Anak belajar melalui kegiatan seperti memasak, membangun alat sederhana, melakukan proyek seni, penelitian sains, dan menulis laporan. Semua kegiatan dirancang agar anak belajar konsep lintas disiplin.
b. Ruang kelas yang fleksibel
Tidak ada meja berbaris. Ruang kelas dapat berubah menjadi bengkel, studio seni, teater mini, dapur, atau laboratorium. Lingkungan belajar didesain untuk memicu kreativitas.
c. Guru sebagai pembimbing
Guru tidak mendikte, tetapi membimbing anak menemukan jawaban melalui dialog, diskusi, dan eksperimen.
d. Penilaian berbasis perkembangan
Tidak ada ranking, tidak ada hukuman fisik, tidak ada standar kaku. Perkembangan anak dicatat dalam jurnal, bukan angka.
e. Belajar dalam masyarakat mini
Sekolah berfungsi seperti komunitas kecil di mana anak melakukan kerja sama sosial, mengambil peran tertentu, dan menyelesaikan masalah bersama.
Hasil sekolah ini menjadi bukti kuat gagasan Dewey: anak-anak tumbuh lebih percaya diri, kritis, kreatif, dan memiliki kemampuan sosial tinggi—jauh melampaui murid sekolah tradisional.
5. Sekolah dan Masyarakat: Dua Unsur yang Tak Terpisahkan
Mengapa Dewey menekankan bahwa sekolah adalah masyarakat mini? Karena ia percaya pendidikan adalah bagian dari ekosistem sosial. Anak tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, tradisi, ekonomi, budaya, dan perkembangan zaman.
a. Sekolah harus mencerminkan nilai sosial
Jika masyarakat menginginkan warga yang demokratis, sekolah harus mengajarkan demokrasi. Jika masyarakat menginginkan inovasi, sekolah harus memberi ruang kreativitas.
b. Sekolah harus menjadi tempat pembiasaan, bukan sekadar teori
Kejujuran, disiplin, kerja sama, dan tanggung jawab tidak bisa diajarkan lewat ceramah. Semua itu harus dibiasakan melalui pengalaman nyata.
c. Sekolah harus adaptif terhadap perubahan
Perubahan teknologi, budaya, dan ekonomi harus langsung tercermin dalam kurikulum dan metode belajar. Jika tidak, sekolah akan terus tertinggal.
6. Relevansi Pemikiran Dewey untuk Pendidikan Indonesia
Dalam konteks Indonesia, banyak kritik Dewey terasa sangat aktual. Beberapa masalah pendidikan Indonesia masih bertahan hingga sekarang:
1. penekanan berlebihan pada ujian dan administrasi,
2. Kurikulum padat yang terlalu teoretis,
3. budaya sekolah yang kaku, hierarkis, dan minim interaksi,
4. kurangnya ruang kebebasan berpikir,
5. guru yang terlalu dibebani administrasi sehingga kurang waktu untuk mengembangkan metode kreatif,
6. dan minimnya integrasi antara sekolah dengan komunitas lokal.
Jika gagasan Dewey diterapkan, sekolah Indonesia dapat berubah menjadi ruang kreatif dan reflektif yang lebih relevan dengan tantangan modern.
7. Pendidikan yang Membebaskan
Pemikiran John Dewey adalah panggilan untuk membebaskan pendidikan dari tradisi lama yang mengekang kreativitas. Ia mengingatkan bahwa anak bukan sekadar calon pekerja industri, bukan sekadar peserta ujian, dan bukan sekadar angka dalam statistik nasional. Anak adalah manusia yang sedang tumbuh dalam masyarakat.
Untuk membangun masa depan bangsa, pendidikan harus menjadi proses yang hidup. Sekolah harus menjadi masyarakat mini tempat anak merasakan demokrasi, bekerja sama, berpikir kritis, dan menemukan jati diri. Pendidikan bukan hanya mencetak manusia pintar, tetapi manusia yang peduli dan mampu memaknai hidup.
Gagasan Dewey tetap penting hingga hari ini karena satu alasan sederhana: ia mengajarkan kita melihat sekolah bukan hanya sebagai gedung tempat belajar, tetapi sebagai ruang di mana masa depan dibentuk.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
